JAKARTA, Kompasmadura.com – Alhamdulillah, Google dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus akhirnya hampir mencapai titik temu mengenai penyelesaian pembayaran pajak perusahaan internet raksasa asal Amerika Serikat (AS) ini.
Adalah Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Kementerian Keuangan, Muhammad Haniv yang menyampaikan kabar baik ini. Dia mengungkapkan, pihaknya telah menerima sebagian file elektronik milik Google yang dibutuhkan Ditjen Pajak.
Dalam proses negosiasi (tax settlement) antara Google dan Ditjen Pajak menjelang akhir tahun lalu, Google menolak membayar pajak yang disodorkan Ditjen Pajak. Google diminta membayar tunggakan pajak plus denda 150% sebesar Rp 2,5 triliun. Google menolak dan menawar sangat rendah. Bahkan, mereka menolak memberikan laporan keuangan perusahaan.
Jengkel dengan ulah Google, Ditjen Pajak mengancam akan meningkatkan kasusnya dari negosiasi (tax settlement) ke penyidikan (preliminary investigation). Pada tahap ini Ditjen Pajak berhak melakukan pemeriksaan pajak sepenuhnya (full investigation) dengan potensi denda hingga 400%. Bahkan, jika ditemukan pelanggaran, otoritas pajak dapat melakukan penyanderaan (gijzeling) terhadap bos Google Indonesia.
Gijzeling demi kepentingan pajak dimungkinkan dalam Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah diatur dalam UU No 19 Tahun 2000.
Menurut catatan Ditjen Pajak, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tanah Abang III dengan status sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 15 September 2011 dan merupakan “dependent agent” dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT. Padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.
Asal tahu saja, transaksi bisnis periklanan di dunia digital (yang merupakan ladang usaha Google) pada tahun 2015 saja mencapai US$ 850 juta atau sekitar Rp 11,6 triliun.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, 70% dari nilai itu didominasi perusahaan internet global over the top (OTT) yang beroperasi di Indonesia, termasuk Google.
Memang terkesan lucu, yang pasang iklan orang Indonesia dan yang melihat tampilan iklan adalah rata-rata orang Indonesia, tapi pajaknya dibayarkan ke pihak lain. Berbeda dengan negara lain yang sudah menetapkan pajak iklan dari perusahaan yang akses internetnya masuk ke wilayah tersebut.
Selama ini, Google hanya membayar pajak terbatas atas kantor perwakilannya di Indonesia yaitu Google Indonesia, yang memperoleh pemasukan (fee) dari Google.
Google hanya membayar pajak penghasilan Pasal 21dan 23. Pajak ini ditanggung oleh karyawan, bukan merupakan pajak perusahaan. Pajak terbesar justru dibayarkan ke Singapura. Sementara di dalam negeri hanya dapat fee saja.
Karena beroperasi sebagai kantor perwakilan, bukan sebagai BUT, maka selama ini Google tidak pernah dipotong PPN maupun PPh-nya. Pajaknya itu atasfee dari representative Google yang kecil sekali, tidak sampai 4% dari revenue.
Selama ini, yang meraup pajak dari Google untuk operasinya di kawasan Asia Pasifik adalah Singapura. Ini karena pajak di Singapura memang terendah di Asia Tenggara, yakni untuk korporasi hanya 17%. Bandingkan dengan Indonesia yang 25%. Pajak perorangan di Singapura juga jauh lebih rendah ketimbang Indonesia.
Karena itulah, Pemerintah Indonesia berang. Sebab, penghasilan Google jauh lebih banyak diperoleh dari Indonesia dibandingkan Singapura. Pengguna akunGmail, Youtube, atau Google+ juga lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan Singapura.
Potensi Pajak
Sejak April 2016 Ditjen Pajak sudah memantau pajak dari Google, Twitter, Facebook maupun Yahoo. Tujuannya, untuk menggali potensi penerimaan dari bisnis teknologi informasi yang saat ini telah berkembang pesat.
Penggalian potensi pajak ini penting mengingat rekam jejak realisasi penerimaan pajak yang tidak menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama kurun waktu 2010-2015, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Bahkan, penerimaan pajak tahun 2016 hanya Rp 1.105 triliun, atau 81,54% dari target penerimaan pajak di APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355 triliun.
Dengan kondisi tersebut, Ditjen Pajak terus membidik perusahaan-perusahaan besar yang dianggap belum patuh. Masukan pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut dianggap bisa mendongkrak penerimaan negara.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengincar pajak Google. Pada Juli 2013, para menteri keuangan dari negara-negara anggota G20 bertemu di Moskow, Rusia. Upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional menjadi satu hal penting yang dibahas dan diupayakan untuk diberantas.
Perusahaan-perusahaan teknologi asal AS, terutama perusahaan internet global, seperti Google menjadi sorotan. Mereka beroperasi di banyak negara, tetapi hanya membayar pajak di negara tertentu yang pungutan pajaknya kecil atau bahkan memindahkannya ke negara yang tak memungut pajak sama sekali. [Inilah]
